Bandung, 30 Mei 2025 — Krisis lingkungan bukan lagi isu masa depan. Kekeringan berkepanjangan, alih fungsi lahan, pencemaran laut, dan kerusakan ekosistem telah menjadi ancaman nyata yang menggerus kesejahteraan masyarakat Indonesia. Menyadari urgensi persoalan ini, Ilmu Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan menyelenggarakan kuliah tamu dalam mata kuliah Pengantar Pembangunan Berkelanjutan. Dengan tema Masalah Lingkungan dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan, forum ini menghadirkan narasumber ahli Dr. Goris Lewoleba, Direktur Konsultan Lingkungan dan Kehutanan PT Arthayu Rali Perdana.
Goris memaparkan bahwa masalah lingkungan tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan persoalan sosial dan ekonomi masyarakat. Lima isu utama menjadi sorotan, di antaranya kekeringan dan krisis air bersih, alih fungsi lahan dan deforestasi, lahan kritis dan erosi, limbah domestik, serta kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Ia mencontohkan kondisi di Nusa Tenggara Timur yang hanya memiliki rata-rata evapotranspirasi air hujan sekitar 250 milimeter per tahun, dengan laju pengisian air tanah yang sangat rendah yaitu 0,4 liter per detik per kilometer persegi. Fakta ini menggambarkan bahwa krisis air bersih sudah berada di titik yang mengkhawatirkan.
Kerusakan lingkungan juga berdampak langsung pada kehidupan kelompok masyarakat rentan seperti petani dan nelayan. Deforestasi dan alih fungsi lahan dapat mengancam keanekaragaman hayati serta meningkatkan risiko banjir. Sementara itu, pencemaran limbah rumah tangga menurunkan kualitas hidup masyarakat di perkotaan dan pedesaan. Di wilayah pesisir, degradasi ekosistem laut menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan dan mengancam keberlangsungan biota laut. Masalah lingkungan tidak semata-mata berkaitan dengan alam, melainkan juga menyangkut keadilan sosial.
Goris juga menekankan pentingnya memperkuat peran masyarakat adat dalam menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat adat telah lama hidup berdampingan dengan alam dan memiliki kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Sayangnya, suara mereka masih sering diabaikan dalam proses pembangunan. Pelibatan aktif masyarakat adat bukan hanya sebagai pihak yang terdampak, melainkan sebagai penjaga lingkungan, merupakan langkah penting yang perlu terus diperjuangkan.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya memasukkan isu lingkungan dalam seluruh kebijakan pembangunan di tingkat daerah. Setiap proyek dan program pembangunan perlu mempertimbangkan dampak lingkungan sejak tahap perencanaan. Pendekatan ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang lebih bijaksana serta menjaga daya dukung ekosistem lokal.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah kolaborasi antar pemangku kepentingan. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, sektor swasta, dan komunitas lokal harus bekerja sama dalam menghadapi krisis lingkungan. Goris menegaskan bahwa tidak ada satu solusi yang dapat menyelesaikan seluruh persoalan. Sinergi lintas sektor menjadi kunci menuju perubahan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Bagi mahasiswa, kuliah ini tidak hanya menjadi ajang untuk menimba ilmu, tetapi juga sebagai momentum refleksi. Josephine Wilhelmina, salah satu mahasiswa peserta kuliah, mengungkapkan bahwa ia baru menyadari betapa erat hubungan antara krisis lingkungan dan kemiskinan. Ia menyatakan bahwa masalah lingkungan tidak hanya menyangkut hutan yang gundul atau laut yang tercemar, melainkan berkaitan langsung dengan keberlangsungan hidup manusia, terutama kelompok yang paling terdampak.
Kuliah ini menjadi pengingat bahwa pembangunan sejati tidak mungkin dicapai tanpa keberlanjutan. Melibatkan komunitas dari tingkat keluarga, sekolah, hingga desa adalah langkah awal yang penting. Ketika kesadaran lingkungan tumbuh dari masyarakat dan didukung kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, maka keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan bukan lagi menjadi mimpi, melainkan menjadi visi bersama menuju Indonesia yang lebih adil dan berkelanjutan.


